Suasana Diskusi Dengan Kawan2 MES

Suasana Diskusi Dengan Kawan2 MES

Wednesday, January 27, 2010

POLITIK VS NU IBARAT SEJOLI YANG TIDAK MUNGKIN TERPISAHKAN

“Pada dasarnya semua orang yang hidup di negara berdaulat adalah masyarakat politik, termasuk warga NU. Jadi, kaum nahdliyin adalah mahluk politik yang kebetulan hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia”

Berbicara mengenai NU, maka yang akan muncul pertama kali dalam benak kita adalah sebuah organisasi yang berdiri dengan beberapa latar belakang, yaitu ingin mengembalikan masyarakat Indonesia kepada Islam yang benar, dimana pada masa itu bermunculan banyak sekali Islam aliran garis keras. Selain itu, kemunculan Nahdlatul Ulama tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan para Ulama’ Indonesia dalam mempertahankan Indonesia dari penjajahan kolonial belanda dan penjajah lainnya.
Dari latar belakang itulah, maka Nahdlatul Ulama’ tidak akan pernah bisa dipisahkan dengan politik. Hal ini sependapat dengan apa yang telah diutarakan oleh KH. Abdul Muchit Muzadi, salah seorang kyai NU yang tidak diragukan ke-NU-annya. Beliau mengatakan dalam buku yang disusun oleh Ayu Sutarto bahwa hubungan antara NU dengan politik tidak bisa di sapih, mengapa? karena pengaruh latar belakang berdirinya NU, dimana semuanya merupakan produk politik.
NU adalah sebuah organisasi besar, paling tidak hal tersebut dapat dibuktikan dengan jumlah anggota yang sangat banyak. Akhir-akhir ini para kyai NU banyak yang berpindah haluan menjadi politisi, dimana mereka seakan-akan memanfaatkan NU sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan di pemerintahan. Namun apapun yang terjadi, kyai NU masih banyak yang konsisten dengan Khittah NU sebagai organisasi yang menekankan pada kesejahteraan umat Islam bukan kepada kekuasaan dan kepentingan pribadi. Hal ini menjelaskan bahwa kebesaran NU tidak bisa diragukan dan diremehkan oleh siapapun juga.
Warga NU berpendapat bahwa politik memiliki banyak definisi, namun yang jelas bahwa pada dasarnya seluruh warga yang bertempat tinggal di sebuah negara yang berkedaulatan adalah warga yang memiliki dasar politik atau mahluk politik, termasuk kaum Nahdliyin. Di dalam NU, masyarakatnya tidak dilarang untuk memasuki dunia politik, asal dilakukan untuk kepentingan bangsa, negara dan agama. Bahkan warga NU mendorong untuk sadar akan politik kepada masyarakat secara luas. NU juga mengatakan bahwa Pancasila merupakan bagian dari butiran- butiran ajaran Islam. Apabila warga NU ada yang berpolitik, maka mereka tidak diperkenankan untuk sekedar mengincar kursi dan jabatan semata. Mereka harus berpolitik demi kemanusiaan yang adil dan beradab serta berkeadilan sosial.
Dalam rangka memberikan pedoman berpolitik bagi warga NU, maka dalam Muktamar NU ke 28 di Krapyak Jogjakarta, telah diputuskan pedoman berpolitik bagi warga NU yang berbunyi sebagai berikut :

1. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan pancasila dan UUD 1945;
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan dunia dan akhirat;
3. Politik bagi warga Nahdalatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama;
4. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkepribadian yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
5. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama;
6. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam yang ahlussunnah wal jama’ah;
7. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan;
8. Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dengan suasana persaudaraan, tawadlu’, dan menghargai antara yang satu dengan yang lain, sehingga dalam politik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan lingkungan Nahdlatul Ulama;
9. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan ilkim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu malaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi dalam pembangunan.

Keputusan tersebut membuktikan bahwa NU tidak anti politik, bahkan mengakomodirnya dengan membuat suatu keputusan sebagaimana tertulis diatas.
Dalam perjalanannya di dunia politik -sejak zaman pemerintahan Soekarno sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono- NU bisa dibilang telah merasakan pahit-manisnya politik. Mulai dari saat NU masih dalam partai Masyumi hingga ke partai PKB. Saat di lingkungan partai Masyumi, warga NU selalu menyalurkan aspirasinya melalui kendaraan politik tersebut guna kepentingan bangsa Indonesia dalam mempertahankan NKRI, di mana pada masa itu adalah masanya penjajahan Jepang. Walaupun demikian NU tidak menemukan kenyamanan, ketentraman jiwa di dalam partai Masyumi. Alasannya adalah karena metode, paradigma, visi-misi serta gaya partai Masyumi sudah tidak cocok lagi dengan NU yang ber-ahlussunnah wal jama’ah. Ditambah lagi dengan sikap optimisme yang dimiliki oleh NU pada waktu itu dimana NU dengan kebesaran organisasinya merasa sudah cukup mumpuni untuk mengolah sebuah organisasi. Oleh kerena itu, NU memutuskan untuk berpisah dengan partai tersebut dan membangun partai NU sendiri.
Dalam partai yang baru ini warga nahdliyin mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini ditandai dengan perolehan jumlah kursi yang didapatkan oleh partai NU lebih banyak dibandingkan saat NU berada di dalam Masyumi. Namun ada kendala yang harus di hadapi oleh NU yaitu tentang penempatan personil NU yang dianggap mampu untuk menduduki kursi yang diperolehnya pada pemilu 1955 -yang berjumlah 45 kursi- sangat kurang. walaupun demikian perolehan kursi DPR tersebut membuat partai NU menjadi lebih diperhitungkan.
Pada masa pemerintahan Soeharto atau lebih dikenal dengan masa orde baru, Parpol disederhanakan menjadi tiga parpol, yaitu Golkar sebagai partai pekerja, PDI sebagai partai nasionalis dan PPP sebagai partai reliji. Di dalam PPP inilah NU kemudian bergabung guna menjalankan politiknya. Perolehan kursi pada pemilu 1977, 1982 dan 1997 yang diberikan untuk NU di dalam PPP semakin sedikit, berbeda drastis dengan kuantitas ketika NU sebagai dirinya sendiri (dalam partainya). NU dengan nama besarnya merasa dipermainkan oleh partai politik. Oleh karena itu, NU memutuskan untuk mengakhiri kiprah politiknya dengan tidak bergabung dengan partai manapun pada waktu itu tapi tetap memberikan kebebasan kepada para warganya untuk memilih dan masuk parpol manapun.
NU sudah terlalu banyak terluka akibat partai politik. Selain itu, NU sering direpotkan lantaran parpol. Sebagai contoh selain PPP yang selalu memperdaya NU, pada masa Soekarno ada sebuah Dekrit Presiden tentang pembentukan kabinet yang terdiri dari unsur nasionalis, agama, dan komunis. Kabinet ini oleh Soekarno disebut dengan NASAKUM (Nasional Agama Komunis). Soekarno memandang unsur yang terdapat di dalam Indonesia adalah ke-tiga unsur tadi sehingga ketiga-tiganya harus bekerjasama demi kemajuan bangsa. Hal ini menyebabkan NU dalam situasi yang sangat dilematik, bergabung dengan Nasakom akan dijustis sebagai antek PKI namun kalau tidak bergabung dengan Nasakom pemerintah akan mengganti NU dengan organisasi lain yang mungkin tidak akan berpihak terhadap Islam.
Setelah orde baru jatuh dan berganti menjadi orde reformasi, warga NU kembali berkeinginan untuk memiliki partai sendiri lagi. Kemudian mereka melakukan banyak pertemuan dan persiapan demi keinginannya tersebut dan mendesak PBNU untuk mendirikan kendaraan politik untuk kaum nahdliyin. Setelah persiapan matang, maka pada rapat PBNU pada tanggal 22 Juli 1998 memutuskan dan merestui satu-satunya partai politik untuk warga NU yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kemudian PKB dideklarasikan oleh deklarator yang mencerminkan lapisan-lapisan warga NU (bukan PBNU) pada tanggal 23 Juli 1998 di Ciganjur Jakarta.
Walaupun NU telah merestui PKB sebagai satu-satunya kendaraan politik bagi warga NU, namun keberadaan NU di PKB bukanlah sebuah hubungan organisatoris, melainkan hubungan historis aspiratif. Artinya hubungan mereka tidak abadi, mungkin suatu saat NU tidak akan memiliki hubungan sama sekali dengan PKB meskipun secara histori mereka sangat tidak terpisahkan. Hal ini mengingat bahwa NU memiliki banyak sekali garapan di luar politik. Bisa saja PKB keluar dari tujuan awal hanya karena tergiur bingkisan politik. Karena itu hubungan NU dan PKB hanya sebagai hubungan historis. Langkah ini dilakukan sebagai strategi antisipasi bagi wagra NU jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi yang jelas, catatan sejarah telah menjelaskan beribu kali bahwa NU sulit untuk tidak terlibat dalam dunia politik, baik mereka berada dalam kendaraan politik maupun tidak.

Daftar bacaan
Ayu Sutarto. 2008. Menjadi NU menjadi Indonesia ; pemikiran KH. Abdul Muchit Muzadi. Surabaya : Khalista.

No comments:

Post a Comment