Suasana Diskusi Dengan Kawan2 MES

Suasana Diskusi Dengan Kawan2 MES

Friday, December 17, 2010

Pemimpin miskin dan Miskin Pemimpin

“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dari hamba-hamba-Nya dengan serta merta, akan tetapi Allah menghapus ilmu dengan mematikan ulama’ sampai tidak ada satu pun orang alim yang tersisa dan kemudian manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka menanyakan masalah-masalah mereka kepadanya, dan dia memberikan petunjuk tanpa landasan ilmu. Akibatnya, mereka tersesat dan menyesatkan” (Mutafaqun alaih)[i]

Banyak hal yang terjadi ketika perdebatan soal pemimpin di perbincangkan. Ada banyak pula kriteria sosok pemimpin yang ideal perspektif “Ananiyah” mereka. Yang paling terpenting adalah seorang pemimpin yang mampu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka. Mengingatkan sejarah kepemimpinan umar yang mengucapkan kalimat ‘innalillahi wa inna ilaihi rojiun’ ketika beliau ditunjuk menjadi seorang pemimpin bangsa, kholifatullah fil ardl, menjadi seorang khalifah dalam rentetan sejarah khulafaurrasidin. Berbeda dengan keadaan sekarang, manusia semakin sombong dengan apa yang dimilikinya, merasa mampu menjadi tokoh, atau hanya sekedar bangga dan mencari popularitas semata.

“Jika mahasiswa menjadi (edit red, Pemimpin) berangkat dari keinginan teman-temannya (bukan kesadaran diri sendiri) dan apalagi tak memenuhi syarat administrasi seperti indeks prestasi minimum kurang, apakah kinerjanya jika terpilih kelak bisa berkualitas pula?”[ii] Kondisi inilah yang menyerang tubuh intelektual kampus saat ini. Padahal menurut Hamim Salam, S.H.I[iii] kaum intelektual merupakan anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya pada pengembangan ide-ide orisinil dan terikat dalam pencarian pemikiran-pemikiran kreatif. Kenyataannya, pemimpin saat ini mengalami kemiskinan yang sangat luar biasa. Kemiskinan tentang kriteria sosoknya sebagai seorang pemimpin. Sosok pemimpin sekarang sangat miskin keadilan dan kejujuran, miskin pengetahuan, miskin kearifan dalan tindakan, miskin ketegasan dan miskin keberanian[iv]. Pemimpin yang diharapkan bukanlah sebuah wayang yang digerakkan oleh kepentingan dalang, pemimpin bukanlah ajang pemilihan putri Indonesia atau Artis Ibukota yang hanya mencari popularitas dan nama besar semata. Itulah kemiskinan yang dialami oleh pemimpin saat ini.

Berawal dari pemimpin yang miskin tersebut, sekarang organisasi kemahasiswaan mengalami kemiskinan kepemimpinan. Mencari sosok pemimpin ibarat mencari mutiara dalam comberan lumpur. Sulitnya luar biasa mencari sosok yang ideal dalam bobroknya dunia dan system yang ada. Semoga kita mendapatkan ilham untuk memperoleh angin segar dalam mebentuk pemimpin yang baik.



[i] Dr. Muhamad Faiz Al Math “1100 Hadits Terpilih: Sinar Ajaran Muhammad” hal: 210.

[ii] Silvani Andalita, “Kondisi dan Kualitas Politik Mahasiswa” Suara Merdeka Tertanggal 27 November 2010.

[iii] Alumni Fakultas Syari’ah INISNU Jepara sekaligus Mantan Kabid II PC PMII Jepara.

- Di ambil dari sebuah artikel dalam Buletin Bursa dengan judul “Menakar Akademika dan Politika Mahasiswa” edisi VII/Januari 2008.

[iv] Kebalikan dari lima criteria pemimpin menurut Imam Al Mawardi dalam kitab al ahkam al sulthoniyah.

Lihat Hairus salam, “Islam dan Pemilu: Panduan Menghadapi Pemilu 2004”. Lkis.

TUGAS AKHIR SMESTER

Sahabat-sahabat mahasiswa yang saya hormati. Berikut ini adalah pengumuman mengenai tugas akhir semester

Pengumuman ini ditujukan kepada :

1. Seluruh Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Smester V Mata Kuliah Telaah

2. Seluruh Mahasiswa Syari’ah Smester VII Double Dengree Programe mata Kuliah MPA PAI.

Untuk segera mengumpulkan tugas akhir mata tersebut.

Adapun syarat dan ketentuan sebagaimana berikut

1. Melakukan iuran untuk membeli flasdish sebagai media pengumpulan tugas mahasiswa. Flasdish cukup satu untuk seluruh kelas angkatan.

2. Teknis dan besarnya iuran di sesuaikan melalui musyawarah dengan coordinator fakultas masing-masing.

3. Coordinator Fakultas Tarbiyah Sdr, Syafa’atun Nafisah (087 833 565 229) sedang Coordinator dari Fakultas Syari’ah adalah Komting Fakultas (H. Ali As’ad/Kamal Miqdad) atau langsung menghubungi Fitriyanto (085 225769 648)

4. Tugas akhir bisa di kumpulkan melalui email dengan alamat : fitriyanto_01@yahoo.com atau menghubungi coordinator masing-masing fakultas.

5. Batas akhir pengumpulan tugas paling lambat dikirim akhir bulan desember 2010.

6. Keterlambatan pengumpulan tugas beserta resikonya, DILUAR tanggungjawab kami.

Wednesday, May 5, 2010

Cinta Dinda

Din....Cinta itu hati
hati yang berbunga, hati yang menerima dan hati pula yang membawa
Din....Cinta itu mengerti
mengerti apa yang terjadi
Din....Cinta itu berbagi
Bukan harta, bukan Mahkota
Din.....Cinta itu bukan sekedar komunikasi
Komunikasi hanya satu cara mendekatkan diri
Din.....Cinta itu bukan hanya milik laki-laki
Perjuangannya dimiliki oleh mereka yang saling mencintai
Din.....Cinta itu memiliki
Bukan Jasad, Bukan Martabat
Din.....Cinta itu Mudah
Mudah Mencipta, susah membina
Din.....Cinta itu bukan hanya sebatas kata
Pecinta Sejati pun Kadang Susah Mengungkapnya
Din.....Cinta itu JIwa
Jiwa yang Tentram, Jiwa yang Tak Tertekan
Din.....Cinta itu Obat
Obat Bagi kanda yang merindukan Dindanya
Din.....Cinta itu Sakit
Sakit Jika salah Memaknai Cinta
Sakit Jikasalah Memberi tujuan cinta
Din.....Cinta itu Ujian
Ujian Untuk Memperoleh Maknanya yang Sebenarnya

Astavisya Meysia
jepara, 28 Maret 2010

Wednesday, January 27, 2010

MENGGAGAS ULANG KONSENTRASI SYARI’AH (Analisis Wacana Kritis Terhadap Buku “Wajah Baru Peradilan Agama; Relasi Cita dan Fakta Hukum, Karya H. Mashudi

MENGGAGAS ULANG KONSENTRASI SYARI’AH

(Analisis Wacana Kritis Terhadap Buku “Wajah Baru Peradilan Agama; Relasi Cita dan Fakta Hukum, Karya H. Mashudi, M.Ag)

Fitriyanto Al-As’roby

Mahasiswa Fakultas Syariah Smester 5

yang masih berusaha mencari jati diri Fakultas Syariah




Mukodimah

Sejak disahkannya fakultas syari’ah dengan konsentrasi Al Ahwal Al Syaksyiyah Di INISNU jepara oleh Menteri Agama Republik Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1991 melalui SK Menteri Agama No. 176 Tahun 1991, fakultas syariah secara idealis berharap untuk selalu mampu berusaha -hingga sekarang- dapat mencetak sarjana yang professional dan layak dalam menghadapi setiap tantangan zaman dengan mengabdi kepada masyarakat. Melalui visi yang dicetuskan oleh beliau para pimpinan fakultas syari’ah yakni ‘terciptanya dan terwujudnya sarjana islam yang bertaqwa kepada Allah, memiliki intelektualisme, profesionalisme, dedikasi dan prestasi yang tinggi serta siap dan mampu mengarungi dunia modern yang penuh kompetisi’[1], ternyata masih belum mampu untuk diwujudkan dalam realita. Ketidakseimbangan antara konsep dan realita menyebabkan sebuah persoalan yang harus diselesaikan. Pertanyaannya adalah sebenarnya konsep yang ditawarkan sangat bagus untuk menghantarkan para mahasiswa kepada sebuah ke-profesionalan sesuai dengan konsentrasi fakultas. Namun, banyak output syariah yang ternyata ke-profesionalannya di luar konsentrasi yang di ajarkan semenjak masih belajar di kampus. Apa yang sebenarnya yang salah?

Peluang Sarjana Syari’ah

Berbagai peluang sebenarnya mampu untuk diraih oleh para mahasiswa yang focus di fakultas syari’ah, diantaranya ;[2]

1. Hakim.

2. Advokat/Pengacara.

3. Panitera.

4. Konsultan hukum bisnis.

5. Arbiter Syari’ah

6. Dll

Dari sinilah sebenarnya ending yang harus dicapai oleh fakultas, yakni menghantarkan para mahasiswa kepada peluang yang sesuai dengan konsentrasi pembelajarannya. Banyak kawan-kawan dari berbagai kampus atau institusi yang tergabung dalam komunitas fakultas syari’ah (baik FORMASI maupun FK-MASI) menyatakan bahwa sebenarnya fakultas syariah adalah fakultas di bidang hukum sehingga peran fakultas sepenuhnya untuk menghantarkan para mahasiswanya untuk mampu menguasai hukum secara menyeluruh. Ditambah lagi adanya UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan agama, dimana dengan adanya perubahan UU tersebut menjadikan peluang sarjana syari’ah semakin bertambah karena ada kewenangan baru yang harus diselesaikan peradilan agama pasca UU No. 3/2006. Dalam UU No. 3/2006 dijelaskan bahwa peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang islam dibidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah. Adapun perincian kasus/perkara yang harus diselesaikan pengadilan agama sebagai berikut[3] :

1. Bidang Perkawinan

a. Ijin Poligami beserta penetapan harta dalam perkawinan poligami.

b. Ijin kawin bila orang tua calon suami/istri tidak mengijinkan sementara calon suami/istri di bawah usia 21 tahun.

c. Dispensasi kawin bagi calon suami/istri yang beragama islam dan belum mencapai usia 19 dan 16 tahun.

d. Penetapan wali adlol jika wali calon istri menolak untuk menikahkannya.

e. Permohonan pencabutan perkawinan oleh KUA.

f. Permohonan pencegahan perkawinan.

g. Pembatalan perkawinan.

h. Permohonan pengesahan nikah/itsbat nikah.

i. Pembatalan penolakan perkawinan campuran (perkawinan Antar warga Negara yang berbeda).

j. Gugatan atas kewajiban/hak suami/istri.

k. Cerai talak (perceraian yang diajukan oleh suami).

l. Cerai Gugat (Perceraian yang diajukan oleh istri).

m. Talak Khuluk (Perceraian yang diajukan oleh istri dengan membayar tebusan kepada suami).

n. Li’an (cerai talak atas dasar alasan istri berzina dengan pembuktian beradu sumpah antara suami/istri.

o. Gugatan Mut’ah dan nafkah bagi bekas istri.

p. Shiqaq cerai gugat atas dasar alasan perselisihan suami istri dengan penunjukan hakam (juru damai) dari keluarga kedua belah pihak.

q. Gugatan harta bersama termasuk hutang untuk kepentingan keluarga.

r. Gugatan penyangkalan anak.

s. Permohonan/gugatan pengakuan anak.

t. Gugatan hak pemeliharaan anak.

u. Gugatan nafkah anak.

v. Permohonan pencabutan kekuasaan orang tua terhadap pemeliharaan anak.

w. Permohonan perwalian.

x. Gugatan pencabutan perwalian.

y. Gugatan ganti rugi atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaan wali.

z. Pengangkatan anak oleh WNI yang beragama islam terhadap anak WNI yang beragama islam.

2. Bidang Kewarisan

a. Pengesahan akta di bawah tangan.

b. Permohonan penetapan ahli waris.

c. Gugatan harta waris.

d. Akta komparisi pembagian harta waris di luar sengketa.

3. Bidang Wasiat

a. Gugatan pengesahan wasiat.

b. Gugatan pembatalan wasiat.

4. Bidang Hibah

a. Gugatan pengesahan hibah.

b. Gugatan pembatalan hibah.

5. Bidang Wakaf

a. Sengketa sah/tidaknya wakaf.

b. Sengketa pengelolaan harta wakaf.

c. Sengketa keabsahab/kewenangan nadlir wakaf.

d. Gugatan sengketa harta wakaf terhadap kelompok.

6. Bidang Zakat, Infaq dan Shodaqoh

a. Sengketa antara muzzaki dengan BAZ.

b. Sengketa antara pejabat pengawas dengan BAZ.

c. Sengketa antara mustahik dengan BAZ.

d. Sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan baik sendiri maupun class action dengan BAZ.

7. Bidang Ekonomi Syari’ah

Ekonomi syariah di sini antara lain tentang Bank Syari’ah, Lembaga Keuangan Makro Syari’ah, Lembaga Keuangan Syari’ah, Asuransi Syari’ah, Reansuransi Syari’ah, Reksadana Syari’ah, Obligasi Syari’ah, Sekuritas Syari’ah, Pembiayaan Syari’ah, pegadaian Syari’ah, dana Pensiun Syari’ah dan Bisnis Syari’ah. Adapun perkaranya adalah

a. Sengketa sah/tidaknya akad kontrak.

b. Sengketa karena perbedaan penafsiran isi akad kontrak

c. Sengketa pengakhiran akad kontrak.

d. Gugatan terhadap pelanggaran isi akad kontrak.

e. Gugatan ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.

Berbagai perkara atau kasus-kasus di atas akan mudah dijadikan sebagai peluang garapan output syariah ketika memang secara teoritis maupun praktis para sarjana mendapatkan ilmu-ilmu tersebut.

Realita Pembelajaran Di Syari’ah; Sebuah tantangan perbaikan system fakultas.

Menurut UU No. 3/2006 tentang perubahan atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, bahwa adanya tambahan tugas dan kewenangan peradilan agama menjadikan para pimpinan fakultas syari’ah memiliki banyak tantangan dalam menata serta mewujudkan visi besar fakultas syariah kepada para mahasiswanya yakni menciptakan sarjana islam yang professional –tentunya di bidang hukum islam-. Ada beberapa kelemahan yang menjadi tantangan fakultas syariah untuk segera dicari solusinya, diantaranya adalah[4] :

1. Sarjana Syari’ah adalah sarjana hukum, bahkan sarjana hukum plus. Artinya kurikulum yang digunakan tidak hanya membahas tentang hukum islam saja namun hukum nasional atau hukum umum. Namun, Saking “plusnya” banyak kurikulum yang justru tidak dibutuhkan masih digunakan dalam kurikulum fakultas syariah. Amati gambar di bawah in

2. Sarjana Syari’ah kurang memahami ilmu hukum sehingga tidak dapat mengartikulasikan gagasan-gagasan hukum islan dengan baik dalam proses pembangunan hukum nasional. Hal ini bisa saja karena persoalan internal sarjana tersebut atau karena persoalan eksternal yakni proses pengajaran yang kurang memahamkan yang disebabkan dosen yang kurang kompeten.
Masih ada beberapa dosen yang sebenarnya kompeten dibidang tertentu akan tetapi mencabang dibidang mata kuliah yang lain yang masih diragukan intensitas kompetensinya. Ditambah lagi beberapa dosen yang belum tercantum dalam gambar diatas dan belum tercantum pula konsentrasi kompetensi yang dimilikiya.

3. Sarjana Syari’ah pada umumnya tidak memiliki keberanian atau self-confidence untuk memasui dunia prosesi penegak hukum. Padahal pada UU No. 18/2003 tentang advokat sudah mengakomodir para sarjana syari’ah untuk masuk di dalamnya. Hal tersebut sudah jelas dipicu oleh kedua alasan di atas tadi.

4. Adanya double degree ilmu ketarbiyahan yang menjadi “jalan pintas” untuk mendistribusikan sarjana syari’ah untuk menjadi guru dimana memang ‘sudah dipastikan” oleh pimpinan fakultas syari’ah bahwa mereka para sarjana syari’ah “tidak akan mampu” untuk masuk ke dunia penegakan hukum.

Menggagas ulang konsentrasi syari’ah; sebuah solusi rekomendasi penghantar ke-profesionalan output syari’ah.

Dari berbagai kelemahan yang tercantum diatas, berbagai pakar selain beliau Bpk H. Mashudi, M.Ag dalam bukunya ‘Wajah Baru Peradilan Agama; relasi Cita dan Fakta Hukum’ pakar lain seperti Drs. H. Eman Sulaeman, MH, (Ketua DPP APSI Salatiga), Ahmad Ghufron, SHI (Karyawan Pengadilan Agama Kab. Jepara) juga memberikan sumbangsih dalam memajukan fakultas syari’ah.

1. Membenahi Kurikulum Fakultas Syari’ah dengan muatan-muatan ilmu hukum minimal sesuai dengan ketentuan den kewenangan peradilan agama termasuk tentang ekonomi syari’ah agar dapat mempersiapkan lulusannya menjadi ahl hukum dan tenaga yang professional yang siap pakai di lembaga-lembaga penegakkan hukum.

2. Mahasiswa syari’ah harus mampu memahami ilmu-ilmu hukum agar dapat berkominikasi dala wacana penegakan hukum dan dapat mengartikulasi gagasan dan konsep syari’ah.

3. Mahasiswa harus mampu untuk memanfaatkan kesempatan dan memperbanyak melakukan diskusi minimal dengan tutor sebaya terkait materi-materi hukum ketika dosen tidak dapat masuk dalam proses perkuliahan.

4. Pimpinan fakultas syari’ah harus berani mengambil kebijakan tegas terkait ketidakmampuan tenaga pengajar dalam menghantarkan para mahasiswa syari’ah menjadi output yang professional. Selain itu, jika memang diperlukan penambahan tenaga pengajar dapat menjadi solusi alternative (tentunya dengan mempertimbangkan berbagi konsekwensi yang harus diterima baik pimpinan maupun mahasiswa).

5. Meningkatkan minat dan rasa percaya diri para sarjana syari’ah untuk bersaing memasuki wilayah profesi penegakan hukum.

6. Mengadakan kerjasama secara berkala dengan lembaga-lembaga penegakan hukum.

7. mengadakan praktik-praktik hukum.

8. Menggalakkan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya hukum di Indonesia.

Penutup

Dalam rangka pengembalian semangat mahasiswa fakultas syari’ah dan mengembalikan intensitas kefokusan fakultas semoga apa yang kami tawarkan dapat dijadikan bahan pertimbangan demi kemajuan fakultas syariah dan mewujudkan cita-cita fakultas syariah sebagai lembaga pencetak kader hukum yang professional.

Daftar pustaka

H. Mashudi, M.Ag. 2009. Wajah Baru Peradilan Agama ;Relasi Cita dan Fakta Hukum. Semarang : Badan Penerbit UNDIP.

_________, Draf Program Kerja Fakultas Syari’ah 2007. Makalah, Disampaikan Pada tanggal 8 Desember 2007.

Drs. H. Eman Sulaeman, MH. Sarjana Syari’ah dan Reformasi Penegakkan Hukum Di Indonesia. Makalah, disampaikan dalam seminar nasional FK-MASI di Stain Salatiga pada tanggal 28 Februari 2008.

Hasanuddin, SH, MH. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Agama;makalah. Disampaikan pada tanggal 30 Agustus 2009 dalam bedah Buku Wajah baru Peradilan Agama; Relasi Cita dan Fakta Hukum.

Hidayat, Arwani. Peluangdan Tantangan Sarjana Syari’ah (Refleksi atas Posisi dan Peran Sarjana Syari’ah). Makalah, Disampaikan pada seminar Nasional dan Lokakarya FORMASI di UIN Syarif Hidayatullah.



[1] H. Mashudi, M.Ag, Draf Program kerja Fakultas Syariah INISNU Jepara, Makalah disampaikan pada tanggal 8 Desember 2007.

[2] Arwani Hidayat, SHI, Peluang dan Tantangan Sarjana Syari’ah (Refleksi Atas Posisi dan Peran Sarjana Syari’ah), Makalah.

[3] Hasanuddin, SH, MH. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Agama;makalah. Disampaikan pada tanggal 30 Agustus 2009 dalam bedah Buku Wajah baru Peradilan Agama; Relasi Cita dan Fakta Hukum.

[4] Drs. H. Eman Sulaeman, MH. Sarjana Syari’ah dan Reformasi Penegakan Hukum di Indonesia. Makalah, Disampaikan dalam seminar Nasional FK-MASI dengan Tema “Mnggagas Peran Syari’ah dalam Upaya Penegakan Hukum Di Indonesia” tanggal 28 Februari 2008.

KIAT JITU MENDAPATKAN PEKERJAAN IDAMAN


Nama Pengarang : Edwin Solahuddin

Nama Penerbit : Penerbit Exceed

Tahun Penerbitan : 2008

ISBN : 978-979-17250-0-2

“Setiap Orang cepat atau lambat pasti akan berhadapan dengan dua keputusan penting dalam hidupnya. Dua keputusan yang akan berpengaruh terhadap kebahagiaan, kesehatan dan penghasilan mereka. Apakah Kedua keputusan itu? Pertama, pekerjaan yang akan anda pilih. Dan yang kedua, siapa yang akan anda pilih sebagai ibu atau ayah anak-anak anda” (Dale Carnegie).

Kalimat tersebut menjadi awal pembuka buku “Kiat Mendapatkan Pekerjaan Idaman” karya alumnus fakultas ilmu budaya Universitas Gadjah Madja yang bernama Edwin Solahuddin. Menjadi sebuah keinginan yang sangat besar bagi penullis untuk mencoba membantu mereka-meraka yang berusaha mencari pekerjaan pasca lulus sekolah lanjutan atas (SMA) ataupun pasca sarjana. Berbagai fenomena dihadapi oleh penulis melihat realita para pencari kerja tersebut. Mayoritas diantara mereka mengaku tidak tahu pekerjaan apa yang sebenarnya yang mereka ambil padahal sesuai kata Dale Carnegie bahwa pekerjaan adalah salah satu keputusan penting dalam hidup seseorang. Penulis mencoba untuk membagikan beberapa pengalamannya tentang bagaimana sulitnya mencari dan mendapatkan sebuah pekerjaan. Dalam sepanjang sejarah kehidupan penulis, berbagai jenis pekerjaan di bidang intelektual sudah pernah penulis lakoni, mulai dari menulis, menjadi penterjemah, hingga menjadi wartawan di beberapa perusahaan penerbitan.

Karena buku ini merupakan sejarah perjalanan panjang pencarian sebuah pekerjaan dari penulis, maka penyusunan buku ini sangatlah sistematis. Hal ini terbukti, penulis dalam melakukan penyusunan buku ini memulai tulisannya dengan kiat awal yakni mencoba untuk mengarahkan pembaca untuk mengetahui terlebih dahulu minat pembaca terhadap sesuatu. Hal ini sebenarnya akan mempengaruhi keputusan pembaca dalam memilih sebuah pekerjaan. Kemudian kiat-kiat selanjutanya dikemas sedemikian rupa oleh penulis sehingga para pembaca seakan-akan diberikan sebuah jalan yang mendatar, jalan lurus tanpa hambatan sehingga para pembaca mendapatkan pekerjaan yang di idam-idamkan. Bahkan ketika para pembaca tidak mendapatkan pekerjaannya, pada kiat yang terakhir penulis tetap mengarahkan agar pembaca tidak segera putus asa dengan memberikan sebuah solusi alternative yakni menciptakan pekerjaan idaman mereka sendiri.

Dengan menggunakan gaya bahasa yang sering digunakan dalam keseharian, pembaca dengan mudah memahami apa yang menjadi maksud dari penulis, selain itu penulis juga secara detail menjelaskan masing-masing kiat dalam buku ini secara detail sehingga menjadikan buku ini walaupun kecil namun memiliki kelebihan yang sangat komplek. Dalam buku ini pula dicantumkan beberapa alamat web site atau situs-situs informasi bagi para pencari pekerjaan dalam melakukan pencariannya. Bebarapa panduan teknispun tidak lupa diberikan untuk pembaca seperti; contoh Curriculum Vitae, contoh lamaran pekerjaan sampai kiat bagaimana menghadapi masa menunggu penggilan pekerjaan hingga interview dengan calon atasan sehingga menambah keilmuan bagi para pembaca dan menambah rasa percaya diri guna mendapatkan pekerjaan idaman mereka.

Dengan berbagai kelebihan tersebut, maka buku yang tergolong kecil ini layak dan sangat dibutuhkan oleh para pembaca yang sedang mencari pekerjaan idaman mereka.

POLITIK VS NU IBARAT SEJOLI YANG TIDAK MUNGKIN TERPISAHKAN

“Pada dasarnya semua orang yang hidup di negara berdaulat adalah masyarakat politik, termasuk warga NU. Jadi, kaum nahdliyin adalah mahluk politik yang kebetulan hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia”

Berbicara mengenai NU, maka yang akan muncul pertama kali dalam benak kita adalah sebuah organisasi yang berdiri dengan beberapa latar belakang, yaitu ingin mengembalikan masyarakat Indonesia kepada Islam yang benar, dimana pada masa itu bermunculan banyak sekali Islam aliran garis keras. Selain itu, kemunculan Nahdlatul Ulama tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan para Ulama’ Indonesia dalam mempertahankan Indonesia dari penjajahan kolonial belanda dan penjajah lainnya.
Dari latar belakang itulah, maka Nahdlatul Ulama’ tidak akan pernah bisa dipisahkan dengan politik. Hal ini sependapat dengan apa yang telah diutarakan oleh KH. Abdul Muchit Muzadi, salah seorang kyai NU yang tidak diragukan ke-NU-annya. Beliau mengatakan dalam buku yang disusun oleh Ayu Sutarto bahwa hubungan antara NU dengan politik tidak bisa di sapih, mengapa? karena pengaruh latar belakang berdirinya NU, dimana semuanya merupakan produk politik.
NU adalah sebuah organisasi besar, paling tidak hal tersebut dapat dibuktikan dengan jumlah anggota yang sangat banyak. Akhir-akhir ini para kyai NU banyak yang berpindah haluan menjadi politisi, dimana mereka seakan-akan memanfaatkan NU sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan di pemerintahan. Namun apapun yang terjadi, kyai NU masih banyak yang konsisten dengan Khittah NU sebagai organisasi yang menekankan pada kesejahteraan umat Islam bukan kepada kekuasaan dan kepentingan pribadi. Hal ini menjelaskan bahwa kebesaran NU tidak bisa diragukan dan diremehkan oleh siapapun juga.
Warga NU berpendapat bahwa politik memiliki banyak definisi, namun yang jelas bahwa pada dasarnya seluruh warga yang bertempat tinggal di sebuah negara yang berkedaulatan adalah warga yang memiliki dasar politik atau mahluk politik, termasuk kaum Nahdliyin. Di dalam NU, masyarakatnya tidak dilarang untuk memasuki dunia politik, asal dilakukan untuk kepentingan bangsa, negara dan agama. Bahkan warga NU mendorong untuk sadar akan politik kepada masyarakat secara luas. NU juga mengatakan bahwa Pancasila merupakan bagian dari butiran- butiran ajaran Islam. Apabila warga NU ada yang berpolitik, maka mereka tidak diperkenankan untuk sekedar mengincar kursi dan jabatan semata. Mereka harus berpolitik demi kemanusiaan yang adil dan beradab serta berkeadilan sosial.
Dalam rangka memberikan pedoman berpolitik bagi warga NU, maka dalam Muktamar NU ke 28 di Krapyak Jogjakarta, telah diputuskan pedoman berpolitik bagi warga NU yang berbunyi sebagai berikut :

1. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan pancasila dan UUD 1945;
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan dunia dan akhirat;
3. Politik bagi warga Nahdalatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama;
4. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkepribadian yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
5. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama;
6. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam yang ahlussunnah wal jama’ah;
7. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan;
8. Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dengan suasana persaudaraan, tawadlu’, dan menghargai antara yang satu dengan yang lain, sehingga dalam politik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan lingkungan Nahdlatul Ulama;
9. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan ilkim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu malaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi dalam pembangunan.

Keputusan tersebut membuktikan bahwa NU tidak anti politik, bahkan mengakomodirnya dengan membuat suatu keputusan sebagaimana tertulis diatas.
Dalam perjalanannya di dunia politik -sejak zaman pemerintahan Soekarno sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono- NU bisa dibilang telah merasakan pahit-manisnya politik. Mulai dari saat NU masih dalam partai Masyumi hingga ke partai PKB. Saat di lingkungan partai Masyumi, warga NU selalu menyalurkan aspirasinya melalui kendaraan politik tersebut guna kepentingan bangsa Indonesia dalam mempertahankan NKRI, di mana pada masa itu adalah masanya penjajahan Jepang. Walaupun demikian NU tidak menemukan kenyamanan, ketentraman jiwa di dalam partai Masyumi. Alasannya adalah karena metode, paradigma, visi-misi serta gaya partai Masyumi sudah tidak cocok lagi dengan NU yang ber-ahlussunnah wal jama’ah. Ditambah lagi dengan sikap optimisme yang dimiliki oleh NU pada waktu itu dimana NU dengan kebesaran organisasinya merasa sudah cukup mumpuni untuk mengolah sebuah organisasi. Oleh kerena itu, NU memutuskan untuk berpisah dengan partai tersebut dan membangun partai NU sendiri.
Dalam partai yang baru ini warga nahdliyin mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini ditandai dengan perolehan jumlah kursi yang didapatkan oleh partai NU lebih banyak dibandingkan saat NU berada di dalam Masyumi. Namun ada kendala yang harus di hadapi oleh NU yaitu tentang penempatan personil NU yang dianggap mampu untuk menduduki kursi yang diperolehnya pada pemilu 1955 -yang berjumlah 45 kursi- sangat kurang. walaupun demikian perolehan kursi DPR tersebut membuat partai NU menjadi lebih diperhitungkan.
Pada masa pemerintahan Soeharto atau lebih dikenal dengan masa orde baru, Parpol disederhanakan menjadi tiga parpol, yaitu Golkar sebagai partai pekerja, PDI sebagai partai nasionalis dan PPP sebagai partai reliji. Di dalam PPP inilah NU kemudian bergabung guna menjalankan politiknya. Perolehan kursi pada pemilu 1977, 1982 dan 1997 yang diberikan untuk NU di dalam PPP semakin sedikit, berbeda drastis dengan kuantitas ketika NU sebagai dirinya sendiri (dalam partainya). NU dengan nama besarnya merasa dipermainkan oleh partai politik. Oleh karena itu, NU memutuskan untuk mengakhiri kiprah politiknya dengan tidak bergabung dengan partai manapun pada waktu itu tapi tetap memberikan kebebasan kepada para warganya untuk memilih dan masuk parpol manapun.
NU sudah terlalu banyak terluka akibat partai politik. Selain itu, NU sering direpotkan lantaran parpol. Sebagai contoh selain PPP yang selalu memperdaya NU, pada masa Soekarno ada sebuah Dekrit Presiden tentang pembentukan kabinet yang terdiri dari unsur nasionalis, agama, dan komunis. Kabinet ini oleh Soekarno disebut dengan NASAKUM (Nasional Agama Komunis). Soekarno memandang unsur yang terdapat di dalam Indonesia adalah ke-tiga unsur tadi sehingga ketiga-tiganya harus bekerjasama demi kemajuan bangsa. Hal ini menyebabkan NU dalam situasi yang sangat dilematik, bergabung dengan Nasakom akan dijustis sebagai antek PKI namun kalau tidak bergabung dengan Nasakom pemerintah akan mengganti NU dengan organisasi lain yang mungkin tidak akan berpihak terhadap Islam.
Setelah orde baru jatuh dan berganti menjadi orde reformasi, warga NU kembali berkeinginan untuk memiliki partai sendiri lagi. Kemudian mereka melakukan banyak pertemuan dan persiapan demi keinginannya tersebut dan mendesak PBNU untuk mendirikan kendaraan politik untuk kaum nahdliyin. Setelah persiapan matang, maka pada rapat PBNU pada tanggal 22 Juli 1998 memutuskan dan merestui satu-satunya partai politik untuk warga NU yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kemudian PKB dideklarasikan oleh deklarator yang mencerminkan lapisan-lapisan warga NU (bukan PBNU) pada tanggal 23 Juli 1998 di Ciganjur Jakarta.
Walaupun NU telah merestui PKB sebagai satu-satunya kendaraan politik bagi warga NU, namun keberadaan NU di PKB bukanlah sebuah hubungan organisatoris, melainkan hubungan historis aspiratif. Artinya hubungan mereka tidak abadi, mungkin suatu saat NU tidak akan memiliki hubungan sama sekali dengan PKB meskipun secara histori mereka sangat tidak terpisahkan. Hal ini mengingat bahwa NU memiliki banyak sekali garapan di luar politik. Bisa saja PKB keluar dari tujuan awal hanya karena tergiur bingkisan politik. Karena itu hubungan NU dan PKB hanya sebagai hubungan historis. Langkah ini dilakukan sebagai strategi antisipasi bagi wagra NU jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi yang jelas, catatan sejarah telah menjelaskan beribu kali bahwa NU sulit untuk tidak terlibat dalam dunia politik, baik mereka berada dalam kendaraan politik maupun tidak.

Daftar bacaan
Ayu Sutarto. 2008. Menjadi NU menjadi Indonesia ; pemikiran KH. Abdul Muchit Muzadi. Surabaya : Khalista.